Selasa, 29 Juli 2025

Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons Pembaca

Dimuat di Suara Merdeka Minggu 29 April 2001


Judul buku      Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons Pembaca

Penulis           :    Yusro Edy Nugroho

Halaman         : 149 halaman

Tahun terbit     : 2001

Penerbit           : Kerja Sama Mimbar Media Utama  dan 

                          Yayasan Adikarya Ikapi serta The Ford Foundation.


Jejak Resepsi Kreatif Wedhatama

TEKS (sastra) memang memiliki kemantapan tertentu, perlu dibaca, dan ditafsirkan menurut keutuhan strukturnya dan kebulatan makna intrinsiknya (Teeuw, 1980).Namun, berkat sifat dan potensinya, teks itu juga terbuka untuk perubahan berkat pembacaan  dan penafsiran pembaca. Dalam resepsi atau sambutan pembaca, perubahan teks dapat dilihat dari berbagai bentuk, terutama dalam penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan.

Lewat buku tipis yang semula merupakan skripsi S1 Sastra Jawa UGM ini, Yusro Edy Nugroho telah berusaha menunjukkan jejak reaksi pembaca Serat Wedhatama terhadap karya besar KGPAA Mangkunegara IV itu.

Tidak berlebihan jika Yusro menjadikan Wedhatama sebagai objek kajian. Sebab, karya sastra pawulang ini dalam masyarakat Jawa tidak saja amat termasyur daam sekala spasial, tetapi juga dalam dimensi temporal. Wedhatama telah dan masih dianggap penting sebagai bahan rujukan ketika siapa pun menyoal pembentukan tata nilai kehidupan manusia Jawa.

Dalam konteks seperti itu, Wedhatama tidak luput dari resepsi para pembacanya. Respons para pembaca itu kemudian dikonkretkan menjadi sejumlah naskah yang berisi turunan teks dan interpretasinya.

Dengan analisis struktural, Yusro telah memulai kajian dengan berusaha mengenalkan (kembali) bentuk struktur dan mekanisme Wedhatama sebagai wacana sastra secara utuh. Berawal dari membandingkan lima teks Wedhatama berdasarkan jumlah bait dan bunyi beberapa teks tertentu, Yusro mulai memperlihatkan keberagaman horizon harapan pembaca.

Selanjutnya dengan berpedoman pada pembagian kawasan penelitian sastra dalam tiga bagian menurut aspek verbal, sintatik, dan aspek semantik, dibedakan struktur Serat Wedhatama. Pada struktur irama dan bunyi, penggunaan perulangan dan purwokanti secara umum merupakan ciri-ciri melodius karya ini. Sejumlah kata yang disusun yang melahirkan aliterasi dan asonansi yang begitu panjang, adalah esensi estetika yang telah diciptakan oleh pengarang Wedhatama (hlm 37).

Dalam struktur sinteksis, dia memerikan Wedhatama dalam beberapa topik secara beruntun, yakni komplikasi yang berisi kritik atas kondisi zaman dan pertentangan baik-buruk (pangkur) konsep dasar melalui peneladanan atau introspeksi (sinom), konklusi hakiki (pocung), pencapaian laku atau klimaks (gambuh), dan aktualisasi (kinanti) (hlm 39-45).

Pada tingkat pembacaan yang luas, Wedhatama akan dibaca dalam kaitan dengan kenyataan-kenyataan lain di luar dunia sastra, tanpa meninggalkan sendi-sendi estetis sebagai karya didaktik Jawa. Dengan sejumlah keunggulan dalam sisi estetika serta fungsi maknanya, menurut pendapat Yusro, Wedhatama berpotensi besar untuk tetap bertahan sebagai karya sastra yang terus-menerus dibaca sepanjang zaman.

Ada lima karya resepsi yang dijadikan sebagai sampel penelitian itu. Kecuali alasan bahwa lima karya itu “cukup mewakili” tanggapan pembaca terhadap teks Wedhatama , tak ada alasan lain yang dikemukakan sang penulis soal pemilihan “hanya” lima sampel itu.

Karena itu, patut dipertanyakan pula tentang eksistensi karya resepsi Wedhatama yang sering hadir dalam tradisi lisan, sekalipun kemunculannya sering dalam beberapa bagian saja. Bukankah tak jarang pagelaran wayang kulit, tradisi macapatan, ataupun kidungan menjadi ajang untuk melakukan resepsi secara kreatif terhadap karya KGPAA Mangkunegara IV tersebut?

Selain itu, akan terasa lebih lengkap jika setiap sampel dianalisis berdasarkan struktur formal, satuan naratif, tataran semantik, tataran baca, konteks, dan hubungan antarteks untuk menunjukkan dinamikanya, bukan secara fragmentaris. Demikian pula mengenai proses “penjawaannya”, untuk mengetahui proses penciptaan, asal-usul, dan tingkat ketergantungan terhadap teks dasar.

Memang, Yusro bukan tidak melakukan hal itu dalam buku ini. Sebagian (besar?) telah ia tunjukkan, atau paling tidak ia telah meretas jalan ke situ. Dalam konteks itu pula, sebenarnya buku ini memberikan andil yang cukup besar. Tidak saja bagi para peneliti yang hendak lebih intens mengkaji Serat Wedhatama dan karya sastra Jawa klasik lain, tetapi juga para pencinta yang hendak membangun kebulatan pemahaman terhadap Wedhatama. 

Karena itulah, kehadiran buku ini menjadi cukup bermakna di tengah-tengah khazanah pustaka sastra dan budaya Jawa. (Sucipto Hadi Purnomo)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyumas, antara Jawa dan Sunda

 Judul: Banyumas, antara Jawa dan Sunda  Penulis: Sugeng Priyadi Penerbit: Kerja Sama Penerbit Mimbar dan The Ford Foundation-Yayasan Adikar...