Selasa, 29 Juli 2025

Ketidakpuasan Sekuler dalam Gerakan Keagamaan

Dimuat di Suara Merdeka Minggu 27 Mei 2001


Judul buku ; Pemberontakan Angkatan Umat Islam (AUI) di Kebumen 1950

Penulis     : Prof Dr Singgih Tri Sulistyono

Halaman  : 288 halaman

Tahun terbit : 2001

 Penerbit  : Kerja Sama Mimbar Media Utama  dan 

                  Yayasan Adikarya Ikapi serta The Ford Foundation.


Ketidakpuasan Sekuler dalam Gerakan Keagamaan


SEBUAH sejarah yang memiliki kualitas optimal tentu bukan sekadar membeber deretan fakta historis dengan perekat imajjinasi dalam batas-batas toleransi yang tidak terlalu mendestruksi esensi kebenarannya.

Buku Prof Dr Singgih Tri Sulistyo yang semula skripsi S1 di Jurusan Sejarah FIB Undip ini memberikan ruang gerak lebih dari sekadar upaya kaji deskriptif naratif untuk ukuran karya ilmiah pada levelnya.

Buku ini memang tidak mengumbar sifat deskriptif naratif. Suatu sifat pengkajian yang menurut Sartono Kartodirdjo memiliki distansi dengan entitas penulisan sejarah kritis dengan gaya neocientific dan pendekatan multidimensional (hlm 10).

Konsekuensi pada prosedur metode, buku ini tidak berhenti pada penghimpunan jejak-jejak masa lampau (heuristik) hingga penelitian atasnya (kritik), tetapi melaju ke upaya penetapan makna dan saling hubungan fakta-fakta temuan (interpretasi) dan penyampaian sintesis dalam pengisahan  (historiografi).

Buku ini juga hendak menempatkan fakta historis pada proporsi semestinya sebagai peristiwa searah. Karena itu, buku ini menghindari tinjauan dan pendekatan deterministik pada aspek ideologi  dan kepentingan tertentu. Dengan noktah keberangkatan konsepsi sedemikian itulah buku ini berkiprah pada analisis aspek-aspek kondisional suatu fakta historis. Dan fakta historis itu, pemberontakan Angkatan Umat Islam (AUI) di Kebumen pada masa segera setelah berakhir revolusi kemerdekaan.

Pada pengantar di buku ini, Prof Dr HM Amin Syukur MA antara lain menulis bahwa berkat penerapan pendekatan multidimensi hasil pengembangan pakar sejarah terkemuka Indonesia Sartono Kartodirdo, penulis buku ini berhasil melukiskan AUI bukan saja tidak monoton, melainkan juga menunjukkan betapa simbol agama seperti perang jihad melawan kekuatan kafir bukan satu-satunya faktor utama pemicu pemberontakan  (hlm xviii).

Sejarah memang menaruh fakta, keperawanan gerakan keagamaan acapkali ternoda ketidakpuasan sekuler. Boleh jadi tidak terlalu keliru asumsi yang menyatakan gerakan keagamaan merupakan sarana efektif untuk melembagakan ketidakpuasan yang sebetulnya bersifat sekuler (hlm 58).Asumsi ini melegitimasi kemungkinan aspek-aspek ekonomi menjadi energi motivasi gerakan keagamaan itu. Demikian pula pemberontakan AUI, tidak sama sekali bersih dari jjamahan aspek-aspek tersebut.

Menjelang letusan pemberontakan AUI, kondisi ekonomi masyarakat Kebumen benar-benar terpuruk. Puncaknya pada kisaran 1947-1950, ketika terjadi ketidakstabilan harga barang, niai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) merosot, peredaran uang palsu kian merajalela (hlm 54). Kebobrokan ini berimbas ke dimensi sosial, memaksa masyarakat yang tidak memiliki tanah bersirobok dengan dua alternatif solusi “menjadi garong atau menerima nasib secara pasif dan menderita” (hlm 55).

Kebangkrutan sosial-ekonomi yang sedemikian parah, sehingga pada gilirannya menggugah keresahan sosial dari kelelapan tidur masyarakat, menyebabkan mereka mudah terjebak dalam pergolakan sosial dengan menggunakan ideologi politik tertentu atau unsur-unsur keagamaan (hlm 55).

Tidak salah argumen Sartono Kartodirdjo dan Paul Wilkinson yang memiliki kesenadaan teori bahwa keresahan sosial itu dapat berkembang menjadi pemberontakan, sedangkan gerakan sosial dan pemberontakan dapat mempercepat keresahan sosial (hlm 76-77).

Faktor politik antara lain beranjak picu dari ketidakpuasan dari Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem Royen, dan KMB. Kelompok sayap kanan terutama Islam termasuk AUI menganggap perjanjian-perjanjian itu bukan hanya merugikan kedaulatan RI, melainkan juga merupakan pengabaian terhadap korban-korban Islam yang meneriakkan perang jihad. Mereka harus tunduk pada orang-orang komunis yang sangat mereka benci. Karena itu, kedua golongan tersebut di Kebumen saling menjelekkan sehingga membuat suasana politik Kebumen bertambah panas (131-132).

Sebagai gerakan berlabel agama, tentu saja AUI tidak lepas dari faktor tersebut. Gerakan itu berkaitan akrab dengan kesadaran para pengikutnya, melenyapkan campur tangan orang-orang kafir dari negara Indonesia, baik Belanda dan antek-anteknya maupun pengkhianatan ateis komunis dan orang-orang yang bekerja sama/membantu mereka (hlm 92).

Dengan demikian, masuk akal kalau ada sinyalemen bahwa di dada para pejuang AUI itu terkandung semangat untuk memperjuangkan agar aturan-aturan Islam berjalan dalam masyarakat atau minimal hukum tidak bertentangan dengan Islam.

Pemberontakan AUI memang bukan pemberontakan besar. Lokasinya pun terbilang hanya di Desa Somalangu dan sekitarnya, bukan seluruh wilayah Kebumen. Kendati demikian, tidak kurang dari 2.000-an jiwa melayang ke alam baka, 3.000-an lainnya terpaksa meringkuk dalam penjara. Mereka itu tumbal konflik yang muncul dari rahim antagonisme laten dengan tekstur pergulatan antarelite formal dengan nonformal, tradisionalis dan modernis, santri dan abangan. Dan buku ini mampu merekam semua itu dengan kecerdasan historiografi. (Jokomono)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyumas, antara Jawa dan Sunda

 Judul: Banyumas, antara Jawa dan Sunda  Penulis: Sugeng Priyadi Penerbit: Kerja Sama Penerbit Mimbar dan The Ford Foundation-Yayasan Adikar...