Dimuat di Suara Merdeka Minggu 2 September 2001
Judul buku : Memori Kecil Drs H Achmad
Penyunting: Tavifrudi, Agus Fatuhuddin Yusuf, Amir Machmud
Halaman : x + 154 halaman
Tahun terbit : 2001
Penerbit : Mimbar Media Utama
Sosok Birokrat, Dosen, dan Tokoh NU yang Punya Sikap
Dengan teknik penempatan angle orang pertama sebagai narator yang menuturkan kisahan demi kisahan berdasarkan perbendaharaan fakta-fakta kehidupan riil sang tokoh, secara teoritis buku ini layak berada dalam atmosfir eksistensinya sebagai karya autobiografi.
Paling tidak, pernyataan barusan sejalan dengan konsep pengertian autobiografi sebagai “biografi yang ditulis oleh tokohnya...atau kadang-kadang ditulis orang lain atas penuturan dan sepengetahuan tokohnya” (Jakob Sumardo dan Saini KM, Apresiasi Kususastraan, 1986:23).
Pakar sejarah Taufik Abdullah pada kata pengantar buku Manusia dalam Kemelut Sejarah (1979:8) mengutip pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa betapa penentuan nilai manusia bukan karena kehancurannya, melainkan daya perjuangannya mempertahankan harkat diri. Pun demikian dengan substansi materi yang terkandung dalam buku autobiografi ini.
Ia berpusar pada pendeskripsian tentang kegigihan Drs H Achmad, yang sejak 13 Maret 2000 menjabat Wakil Gubernur Jateng, dalam memperjuangkan harkatnya sebagai birokrat, dosen, dan tokoh NU yang punya sikap.
Gaya pengasuhan keluarganya yang keras tapi progresif merupakan modal aset awal pemberi kontur dasar pada sosok kepribadian tokoh ini. Bertolak arus dengan tren kebanyakan kalangan keluarga NU masa itu yang mengirim putra-putri mereka ke pondok pesantren, keluarganya terutama sang ayah (Shofwan), tidak melarang ketika dia memutuskan untuk mengambil jalur yang berlainan dengan kelaziman teman-teman sebayanya.
Selepas Sekolah Rakyat (1950), dia membuat gebrakan dengan masuk SMP Kristen Bopkri Pati (lulus 1953). Dari sini dia melanjutkan ke SMA B Pati (lulus 1956), untuk kemudian ke Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta (lulus 1963).
Meskipun demikian, pondok pesantren bukan dunia yang sama sekali asing baginya, sekalipun tidak seintens teman-temannya sebaya dan sekomunitas dengannya pada masa itu. “Sewaktu SD atau SMP, saya seharusnya masuk ke pondok pesantren, tetapi samai kuliah pun saya tidak pernah belajar di pondok pesantren secara full time. Jadi, saya betul-betul telah melanggar tradisi di daerah saya yang ‘mengharuskan’ mendalami agama di pesantren.” (hlm 27). Berdasarkan kutipan ini jelas sudah, kendati tidak secara full time belajar di pesantren pernah dijalaninya.
Keberanian menantang arus itu dia tampakkan pada kemudian hari ketika menjabat Ketua NU Jateng. Pemimpin Umum/Redaksi Harian Wawasan H SoetjiptoSH menuturkan, “Sering dia berani mengambil sikap yang bertentangan atau melawan arus, termasuk dengan atasannya. Tentu saja dengan tujuan baik. Misalnya, ketika ada garis (komando) semua orang NU harus masuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tetapi Pak Achmad sebagai Ketua NU Jateng memilih mengayomi semua warga Nahdliyyin yang ada di partai lain.” (hlm 139-140).
Sikap Drs H Achmad yang senantasa ingin mengakomodasi aspirasi dari semua kalangan dalam kapasitasnya sebagai birokrat, rupanya tidak dapat lepas dari rujukan keteladanan dari sang ayah.
“Satu hal yang bisa diteladani dari Bapak adalah toleransi yang tinggi antarsesama, meski berbeda ras dan agama. Barangsiapa yang menanam kebajikan, maka akan menuai kebaikan pula. Dan Pik Gwat Gan adalah satu bukti dari semua itu.” (hlm 21-22)
Lalu pada bagian lain dia menyatakan, “Sebagai pedagang, Bapak mempunyai pergaulan yang sangat luas, dari wong cilik sampai priyayi. Meski status teman-temannya berbeda, Bapak tidak membeda-bedakannya. Bapak itu orang NU, tetapi juga akrab dengan teman-teman dari Muhammadiyah. Dan bagi beliau, ini merupakan modal kepercayaan yang harus dibangunnya kepada semua orang.” (hlm 23-24).
Buah dari keteladanan sang ayah itulah, pada kemudian hari antara lain terungkap dari pernyataan pengusaha toko dan angkutan di Kelet, Keling, Jepara, yang bernama Joe Tong Sin. Sahabat semenjak kecil H Achmad ini menyatakan, “Dia..tidak pernah berdebat tentang perbedaan agama dengan teman-teman yang beragama lain, seperti saya dengan dia. Untuk urusan ini dia sangat toleran. Dan setiap ada teman yang mengalami kesulitan, dengan ringan dia membantu.” (hlm 146).
Demikianlah sedikit penggalan substantif yang terkandung dalam buku autobiografi ini. Dengan sudut pandang narator akuan (dalam teks narator menggunakan pronomina “saya”) dan mobilitas bahasa yang lincah dan memiliki kedekatan dengan aroma literary style, lengkaplah makna kehadiran trio penynting yang keseharian mereka akrab menggeluti jagad keredaksian di harian Suara Merdeka sebagai produk bacaan yang relatif bergizi humanisme tinggi. (Jokomono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar