Selasa, 29 Juli 2025

Pemberontakan Petani Masa Lalu

 Dimuat di Suara Merdeka Minggu 11 Februari 2001


Judul buku : Pemberontakan Cimareme 1919, Perlawanan H Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi

Penulis: Chusnul Hayati

Halaman : 288 halaman

Tahun terbit : 2001

Penerbit : Kerja Sama Mimbar Media Utama  dan 

               Yayasan Adikarya Ikapi serta The Ford Foundation.


Pemberontakan Petani Masa Lalu


SALAH satu permasalahan pembangunan di negara-negara berkembang , termasuk Indonesia, adalah bagaimana cara mencukupi kebutuhan pangan yang makin hari makin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membangun sektor pertanian, tetapi pada kenyataannya pembangunan ini belum berhasil mencapai tujuannya, yaitu mencukupi kebutuhan pangan dan yang tidak kalah penting adalah menaikkan pendapatan petani.

Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia secara umum masih meminggirkan peran petani. Yaitu petani diposisikan pada tempat yang lemah. Ternyata kebijakan yang tidak berpihak pada petani pun telah terjadi seak zaman penjajahan. Eksploitasi terhadap petani saat itu menjadi kebijakan pemerintah kolonial. Hal ini menimbulkan konflik yang memicu gerakan petani. Kasus Haji Hasan di Cimareme yang dikaji dalam buku ini merupakan salah satu bukti bahwa kesengsaraan para petani Jawa telah memaksa mereka melakukan perlawanan pada kolonial.

Karena itulah, studi tentang gerakan sangat penting untuk melihat mengapa sampai saat ini perekonomian di Indonesia belum mampu untuk mengubah nasib petani. Dan penerbitan buku yang semula tesis S2 Chusnul Hayati di UGM ini menjadi sangat tepat, karena telah berhasil mengangkat tema gerakan petani dalam penulisan sejarah Indonesia. Sebab, hasil penelitian di Cimareme ini dapat menunjukkan peran radikal petani melawan penguasa. Juga membuktikan tidak benar jika petani sama sekali bukan nonfaktor dalam sejarah.




Akibat Krisis

Perlawanan H  Hasan atau yang lebih dikenal dengan Peristiwa Cimareme ini terjadi di distrik Leles, di sebelah utara Kota Garut, pada tahun 1919. Walaupun peristiwa ini berlangsung singkat, sangat penting artinya sebagai salah satu gerakan petani pada awal abad ke-20. Ada beberapa unsur menarik yang diungkapkan dalam buku ini, seperti unsur perang sabil yang dilancarkan lewat gerakan petani, unsur protes oleh organisasi modern (SI) yang mencoba melibatkan diri dalam perlawanan.

Berawal dari adanya krisis ekonomi akibat gagal panen pada tahun 1918, masyarakat petani khawatir akan terjadi bahaya kelaparan (hlm 53). Kekerasan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah kolonial yang mewajibkan petani menjual padinya kepada mereka sebanyak satu pikul setiap satu bau sawah. Bahkan, di Garut diterapkan empat pikul untuk setiap bau sawah (hlm 57-58). Kondisi inilah yang secara tidak langsung menimbulkan protes. Terutama para petani Garut yang merasa diperlakukan tidak adil atas penerapan peraturan ini.

Muncullah H Hasan yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat untuk mengajukan protes dengan menulis surat kepada Asisten Residen. Namun surat itu dibalas dengan ancaman. Tidak jera, dia masih berusaha menulis surat kembali kepada pemerintah, tapi tetap sia-sia. Protesnya tidak ditanggapi (hlm 74-76).

H Hasan pun mulai menyiapkan diri dari kemungkinan kebenaran ancaman tersebut. Dibantu oleh para santri di pesantrennya, dengan berpedoman perang yang akan mereka lakukan adalah “perang suci” melawan orang kafir, H Hasan dan pengikutnya siap melawan pemerintah.

Pada tanggal 4 Juli 1919 rombongan Asisten Residen dilengkapi dengan serdadu datang ke Cimareme untuk menangkap H Hasan. Namun penangkapan itu gagal. Selanjutnya untuk kali kedua dengan kekuasaan yang lebih besar, tepatnya 7 Juli, mereka datang ke Cimareme. H  Hasan tidak mau kompromi dengan rombongan ini, dan terjadilah insiden berdarah itu (hlm 85-95).

Setelah insiden itu, muncul reaksi pro dan kontra terhadap peristiwa tersebut. Bahkan, pemerintah bertindak berlebihan dengan menangkap setiap orang memasuki Cimareme, termasuk para wartawan (hlm 102-105).

Dalam pemeriksaan lanjutan tersingkap gerakan rahasia dari Afdeling B yang akan melakukan pemberontakan (hlm 133-151). Walaupun pada kenyataannya tidak terdapat hubungan  yang positif antara perlawanan H Hasan dan pemberontakan Serikat Islam (SI) Afdeling B.

Pada dasarnya kekerasan sebagai akhir dari perlawanan di Cimareme tidak terlalu kompleks. Tetapi pemerintah kolonial memandang sebaliknya, karena gerakan itu melibatkan seorang haji yang pada masa itu dipandang sebagai golongan fanatik yang berbahaya.

Penyampaian peristiwa secara runut dan apik, di samping memberikan sudut pandang yang berbeda, menjadikan buku ini sangat menarik untuk dibaca. Dan tentu saja buku ini sangat berharga bagi kita yang selalu ingin belajar dari sejarah. (Juli Winarni, alumnus Sejarah FIB Undip).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyumas, antara Jawa dan Sunda

 Judul: Banyumas, antara Jawa dan Sunda  Penulis: Sugeng Priyadi Penerbit: Kerja Sama Penerbit Mimbar dan The Ford Foundation-Yayasan Adikar...